Perempuan di Indonesia mengalami ketimpangan dan ketidakadilan yang berlapis. Berbagai identitas yang dimiliki turut menentukan banyaknya lapisan tersebut, sementara ketimpangan gender yang diakibatkan budaya patriarki telah menempatkan perempuan di dalam posisi yang tidak setara. Konstruksi gender yang melekatkan beban domestik pada perempuan turut menambah lapisan ketidakadilan yang mereka alami. Pengambilan keputusan di dalam keluarga, masyarakat, hingga negara, seringkali mengabaikan kepentingan dan kehendak perempuan. Bagi perempuan miskin, seperti buruh tani, buruh migran, nelayan, masyarakat adat, ataupun miskin kota, lapisan ketidakadilan tersebut bertambah dengan tidak adanya akses dan kontrol terhadap sumber-sumber kehidupan mereka. Situasi pandemi Covid-19 hingga bencana iklim yang terjadi, semakin memperparah ketimpangan dan ketidakadilan yang sudah mereka alami.
Dalam situasi tersebut, penting untuk menemukenali akar persoalan ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi dan dialami perempuan, serta mendorong berbagai kebijakan dan program yang relevan dan dapat berkontribusi di dalam penghapusan, atau setidaknya mengurangi ketimpangan tersebut. Aksi! for gender, social and ecological justice terlibat dalam sebuah program yang berjudul Raising the voices of communities on the front-line in the fight against economic inequalities atau Menguatkan Suara Komunitas di Garis Depan dalam Perjuangan Melawan Ketidaksetaraan Ekonomi (Program Economic Inequality).
Melalui program ini, Aksi! for justice telah melakukan Konsultasi Perempuan di 10 Wilayah, sebagai bagian dari program, dengan menghadirkan kurang lebih sebanyak 320 perempuan aktivis dan perempuan komunitas dari berbagai latar belakang dan sektor. Dalam kesempatan ini, para perempuan bersuara, berbagi cerita, pengetahuan, dan pengalaman sehari-hari mereka dalam menghadapi ketimpangan dan kemiskinan struktural.
Peristiwa sejarah dari Pemerintahan Orde Lama ke Pemerintahan Orde Baru menghasilkan berbagai kebijakan untuk mendorong pembangunan yang menyebabkan terjadinya penindasan/kemiskinan rakyat. Pemerintah kala itu mengeluarkan kebijakan Trilogi Pembangunan yang terdiri dari 3 pilar, yaknil (1) pertumbuhan ekonomi, (2) stabilitas nasional, dan (3) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Dampaknya adalah tingginya utang luar negeri, eksploitasi sumberdaya alam dan tenaga kerja, serta kemiskinan.
Doktrin Hankamnas (pertahanan dan keamanan nasional) melahirkan militerisme dan rezim diktator Suharto yang melindungi kepentingan rezim dan kroninya serta investor asing. Ideologi pembangunan seperti ini telah berdampak pada kesengsaraan rakyat. Ini karena pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mengamankan investasi dengan melakukan penggusuran; menghilangkan hak rakyat atas tanah, properti, serta hak atas hidup dan penghidupan. Berbagai peraturan tercipta mengiringi terwujudkan trilogi pembangunan, di antaranya UU PMA (1967) yang membuka seluas-luasnya investasi asing masuk ke Indonesia. Kebijakan ini berdampak pada penggusuran, pembungkaman kebebasan pers, utang luar negeri.
Pada 1984, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Revolusi Hijau yang merupakan mekanisasi pertanian dengan mengubah cara bercocok tanam tradisional dengan memperkenalkan pemakaian pupuk dan pestisida kimia, dan mewajibkan menanam bibit yang diproduksi industri. Kebijakan ini berdampak pada kepunahan varietas lokal, pencemaran lingkungan akibat penggunaan bahan kimia, hilangnya kearifan lokal, perempuan kehilangan peran di pertanian, konflik tanah, pemiskinan petani, dan seterusnya.
Pada 1997, saat ekonomi Indonesia menghadapi krisis, pemerintahan Soeharto meminta bantuan IMF yang kemudian menerapkan ‘program penyesuaian struktural’ yaitu penyehatan APBN melalui penghapusan subsidi sosial (antara lain pendidikan dan kesehatan), privatisasi BUMN (seperti air dan listrik), perdagangan bebas dan deregulasi untuk mengakomodasi swastanisasi dan perdagangan bebas. Pengetatan ekonomi ini pada gilirannya membuat rakyat makin menderita dan merupakan awal kejatuhan Soeharto di tahun 1998.
Pemerintah menganut sistem pertumbuhan ekonomi dengan bertumpu pada eksploitasi sumberdaya alam dan buruh, utang luar negeri dan investasi asing langsung. Saat menghadapi krisis, pemerintah menerima program penyesuaian struktural neo-liberal dari IMF dengan melakukan penghapusan subsidi sosial, privatisasi perusahaan negara, perdagangan bebas dan perubahan peraturan-perundangan untuk menjustifikasi hal-hal tersebut.
Kekuatan militer dan birokrasi digunakan untuk menundukan mereka yang menentang kebijakan ini maupun yang menentang perampasan sumberdaya alam dan menentang eksploitasi industrial.
Perampasan sumberdaya alam dan eksploitasi buruh menyebabkan penghasilan/pendapatan rumah tangga berkurang; tidak mampu membeli barang konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari ditambah lagi lagi subsidi sosial seperti kesehatan dan pendidikan dihapus; tidak bisa menabung dan bahkan tidak sedikit yang makin banyak berutang, termasuk mengambil kredit di bank.
Pemerintah berhutang karena tidak memiliki dana cukup untuk melakukan pembangunan karena banyak dana yang dikorupsi. Selain korupsi, pajak dari perusahaan menurun karena adanya usaha menarik investasi asing dengan memberikan insentif seperti bebas pajak atau memundurkan waktu membayar pajak sampai 30 tahun, serta mengurangi dan menghapus tarif dan hambatan tarif akibat keikutsertaan dalam perdagangan bebas.
Pemerintah lebih memberikan subsidi kepada perusahaan dan malah mengambil alih utang perusahaan dan bank yang bangkrut.
Untuk meningkatkan uang negara, pemerintah juga memberlakukan PPN terhadap barang konsumsi, sehingga makin membebankan situasi keuangan rumah tangga.
Akibat dari semua ini, ekonomi Indonesia menjadi ekonomi tergantung dan patuh pada kepentingan ekonomi dan politik luar negri. Sumberdaya alam dikuras, rakyat mengalami proses pemiskinan dan penindasan. Kemiskinan merupakan lahan subur bagi benih-benih fundamentalism agama radikal yang intoleran dan memecah-belah bangsa Indonesia ini.